Hape lungsuran Inka berdering, tertera Budi Wiyono dilayarnya, suara Nafi menanyakan aku ke rumah Budi jam berapa?, mewakili Budi yang sedang terapi untuk melegakan pernafasannya.
Setelah parkir di depan warteg, aku berjalan di gang kecil menuju rumah yang baru dipasangi tirai bambu dan ditempeli tulisan di atas kertas ukuran A3 anyar berlaminasi, “Terima Scanning” dan yang lainnya “Cetak pasphoto kilat Rp 5.000,-“.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGcgVrArFSG5VmtJu44xCsdgUVQsceStmSxbot9Bt2aXXIcKSP_rI5rQIgdq_JDKpuKLfzodnnCPMow0SNcCKFZUGUHJWeikmhdYUMcSArjqEatj_qCgoo61sKRZVQYdXkcf1jchJEg14/s400/Met+Rory.jpg)
Budi menyambut di atas tempat tidur tanpa kaki yang diletakkan di ruang tamu dengan botol oksigen hitam lengkap dengan regulator pinjaman, sayang yang dipergunakan bukan inventaris Dana Sosial. Di ruang yang sama seperangkat PC Pentium 4 lama dengan monitor berwarna, dan printer bertengger di atas credenza sederhana sementara scanner diletakkan seadanya di atas lantai. Istri dan keempat anaknya menyesaki ruang kecil ini, yang menjadi ruang tamu merangkap ruang kerja, makan dan tidur. Mereka duduk di lantai keramik tanpa alas sedangkan aku duduk di selembar karpet karet berwarna biru muda, masih baru tampaknya.
Sehari sebelumnya Rory bersilahturami sambil memberikan ceramah agama agar Budi dan keluarga tabah menghadapi cobaan, sedangkan misiku kali ini untuk menyampaikan bantuan dari Jnonk yang bermukim Belanda dan beberapa teman yang lain. Rencana bantuan tersebut akan dipergunakan untuk membuka usaha penjualan alat tulis di rumahnya yang berhadapan dengan sekolah dasar.
Budi bersemangat untuk berterima kasih atas perhatian teman-teman, namun bronchitis akut membuat nafasnya tersengal-sengal. Persendian kaki dan lengannya terasa lemah yang membuatnya sukar berjalan dan bekerja, untungnya istri dan anak tertuanya Nafi sudah pandai mengoperasikan PC, boleh dibilang Budi hanya mengandalkan intruksi yang keluar dari mulutnya. Salah satu karya mereka adalah 10 buah buku bon pengeluaran yang dipesan oleh Arif Darmawan, 3 IPA 8, yang diterima melalui ponsel, namun belum sempat dikirimkan.
Dengan perangkat komputerlah mereka mencari nafkah, digital priting, kompetensi andalan Budi. Poster, spanduk, banner, digitalisasi foto, gantungan kunci, pin, kop surat merupakan produk yang dapat dihasilkannya. Itupun hanya mengandalkan pelanggan yang datang ke rumah akibat ruang gerak Budi yang sangat terbatas.
Di dekat kaki tempat tidur teronggok meja kecil pendek tempat meletakkan gantungan kunci yang siap dijual, diantarannya bertuliskan smandel 81 dengan kaca bundar dibelakangnya. “Mau lihat monyet?” Kataku kepada Ata dan Untung anak ke-3 dan ke-4 Budi.
“Mau ,,, mau …” sambut mereka.
“Nih, dia …!” sambil kuletakkan kaca gantungan kunci di depan muka mereka. Merekapun lantas tertawa.
“Monyetnya ompong” lanjutku, disambut gelak-tawa keluarga Budi yang memenuhi ruang serbaguna ini, pertanda masih ada keceriaan di rumah sewaan mungil ini.
Ketika aku pulang dilepas oleh istri dan anak mereka diiringi nasihat Ata yang putus sekolah TK, “Hati-hati ya om … jangan sampai ketabrak motor!”. Tempaan hidup yang keras mungkin yang membuat Ata lebih dewasa dari teman sebayanya
Sampai di rumah pukul 09:34 PM, dengan angka kilometer menunjukan 342, artinya 34,2 km jarak yang kutempuh pergi-pulang.
Aku berharap semoga saja Budi Wiyono lekas sembuh seperti semula, amin.
No comments:
Post a Comment